Halaman

Rabu, 02 Desember 2015

Desember awal


Senang melihat bocah-bocah bersemangat mengerjakan tugas akhir. Setiap hari pembahasannya project-project pribadi. Sebagian menyetorkan progresnya dari hari ke hari. Minta kritikan, minta masukan, mendiskusikan ide-ide baru.

Yup...
Tetap berjalan adalah satu-satunya jawaban saat berbagai hal membentur. Lama-lama persoalan berkaitan dengan komunitas menjadi suatu hal yang biasa dan pelan-pelan kami belajar untuk menghadapinya sebagai tantangan.

Setiap hari, tamu-tamu berdatangan. Mereguk ilmu dari kepala suku. Melihat bagaimana proses belajar di komunitas. Setiap hari itu pula, kami tertantang untuk terus melakukan pembenahan demi pembenahan.

Pendamping/tutor, hanya beberap yang bertahan. Segelintir orang berusaha menjaga arah idealisme yang dari awal dibangun. Lalu, aku bertanya apakah... akan selamanya di sini?
Beberapa impianku terkait komunitas ini, belum purna. Usai mendampingi kelas Oryza Sativa yang tahun ini lulus dan berpindah ke perguruan tinggi,membuatku memiliki banyak konsep baru terkait pendidikan komunitas. Memang, belum utuh impianku terwujud lewat kelas Oryza Sativa. Hanya saja, sedikit banyak aku mulai mempelajari arah dan peta yang kususun dalam pola berpikirku untuk formula ide penggabungan sistem sekolah bebas kolaborasi sistem pesantren yang religius.

Aku selalu berpikir tentang pendidikan yang seimbang. Tidak boleh hanya stag dan melulu soal pengembangan diri, bakat, interaksi dengan dunia luar. Tetapi juga berkenaan dengan ruhani. Karena tanggung jawab manusia selain memaksimalkan potensinya agar bisa memakmurkan alam, juga bertugas sebagai hamba yang memiliki kebutuhan menghamba seutuhnya pada Yang Maha Memberi hidup.
Karenanya, aku sangat-sangat dan sangat tertarik pada model penggabungan metode pendidikan semacam itu. Dimana pelajaran agama sangat ketat (Artinya pembelajarannya harus tersambung hingga kanjeng nabi) dan kesempatan belajar entah pengembangan ilmu, bakat, dll terbuka lebar. Apalagi ditambah wacana memaksimalkan potensi lingkungan, alam, sumberdaya manusia, dan empati sosial seperti dorongan memperjuangkan hak orang lain, membuat gerakan pemberdayaan, membuka akses ilmu seluas-luasnya untuk siapa saja. 

Ilmpian ini tertanam kuat dalam hatiku, bertahun-tahun. Berharap suatu saat terealisasi. Entah di sini, entah dimana pun. Hari ini yang kupikrikan adalah bagaimana memanfaatkan semua yang sedang kuhadapi sebagai pembelajaran.

Tak ada target apakah akan terus tetap di sini, dan tak mematok target untuk kemana dan dimana. Segalanya fleksible. Menyiapkan diri dan bersiap diletakkan Tuhan dimana pun adalah usaha yang menentramkan. Karenanya, hari ini adalah hari ini. Aku sering menyebut suasana hatiku ini dengan -Carpe Diem- Sebuah momen dimana aku bermaksud menikmati apa yang tengah kujalani, dan kuperjuangkan saat ini. Berbanding lurus dengan mimpi, tapi menikmati proses demi proses menjadi prioritas ketimbang terlalu mengangankan mimpi itu sendiri. 

Ambisiku terkait komunitas mungkin tak seperti saat remaja dulu. Melewati banyak hal membuatku berpikir bahwa bersikap netral harus dilatih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar