Halaman

Rabu, 09 Desember 2015

Harapan-


Doa-doa orang tua, doa simbah, doa siapa saja. Dari stimulus guru, dari melihat keseharian kaum sarungan. Dan beberapa faktor mempengaruhiku untuk kemudian pada suatu tempo, terbit di benakku sesuatu yang lain. 

Masa SMP seperti masa balas dendam, setelah melewati sekolah dasar dengan pelajaran luar biasa banyaknya dan sedikit ada materi pengembangan diri. 

Aku melihat dunia baru sejak tergabung di sekolah rakyat, yang saat ini kami sebut komunitas belajar. Dulu kami menggunakan nama SLTP karena kurikulum masih ngekor sekolah induk. Mungkin kalang kabut atau apa, segala hal ingin kucoba. Ingin jadi wartawan, presenter, sutradara, belajar ilmu alam, filsafat, sastra, musik, ikut lomba ini lomba itu. Semua kesempatan seperti tak ingin terlewatkan. Ambisi seperti meledak-ledak. Guru/pendamping/tutor kami menyebutnya dengan "kemaruk". 

Bagiku ini kesempatan besar. Dimana aku bisa memilih apa pun yang ingin kupelajari, dan difasilitasi tanpa banyak mengeluarkan biaya. 

Tapi tiba di suatu Romadhon, ada titik cerah yang seperti turun mendinginkan hati. Memukul kesadarkanku. Bahwa diriku haus akan sesuatu. Ada titik hampa yang kurasakan betul. Dan aku ingin mencari pelepas dahaga itu.

Orang tua terus mengingatkan, guru terus memberi arahan, teman-teman memberikan buku-buku... segala upaya dari luar  tak henti-henti mempengaruhiku. Boleh jadi memang dari itu semua, titik resah atas diriku ini, kemudian menyita perhatianku. 

Dari kehampaan itu pula, yang membangkitkan rasa bahwa aku harus mendalami agamaku. Pesantren menjadi pilihanku. Tapi saat itu aku tidak bisa sepenuhnya meninggalkan komunitasku. Mereka menyebutnya, dengan perjuangan. Memulai dari pertama bersama, dan harus dihidupkan bersama. 

Ikut pesantren kilat Romadhon di pesantren, menjadi pilihanku, di samping masih tetap menjalani madrasah dinniyah di pesantren lokal sebagai santri kalong (Pulang Pergi) pada hari-hari biasa.

Dan... kilat Romadhon menjadi pilihan pula pada tahun-tahun setelahnya. Aku berharap bisa merasakan didikan Kyai-kyai berbagai pesantren (disamping Kyai Pesantren tempatku ngalong). 

Kilatan Romadhon terasa cukup intensif.  Ada sekitar 7-9 kitab yang dikaji. Ini hampir sama dengan materi pelajaran satu tahun di madin. Bedanya jika Romadhon, mengaji berlangsung sejak ba'da subuh hingga larut malam. Sedang madin hari biasa, berlangusung dua jam. Jadi ngaji kilat Romadhon, hampir sama dengan kajian satu tahun berada di pesantren. 

Meski, aku paham, bukan itu saja yang dididikkan di pondok. Ada pengabdian, ada contoh laku, ada tata cara hidup yang diatur, dan banyaaaaak hal yang membuat nuansa pesantren seperti disett untuk orang-orang yang ingin belajar sholeh. Menghafal hingga larut malam, belajar dari pagi hingga malam. Melakukan aktivitas ibadah sejak sebelum subuh tiba. Semua kontinyu, istiqomah dan dalam bimbingan Kyai.

Merasakan denyut nadinya membuatku semakin sadar bahwa laku hidupku sangat tidak berkualitas.

Aku merasakan kedamaian di dalamnya. Aku mengagumi para santri yang hidupnya fokus mendalami ilmu cara mendekat pada Allah. Aku melihat kesetia kawanan yang tulus. Aku merasakan didikan poro guru yang serius. 

Sayang, beberapa hal membuatku tak bisa mencecapi impianku satu ini. Utamanya soal kesehatan.  Aku hanya bisa ngkilat-ngkilat dan mengambil cercah-cercaha cahaya semampuku. 

Saat adikku hendak pergi mondok ke Lirboyo, hatiku remuk. Dikelabuti mimpi-mimpi masa lalu yang masih berbekas. Suatu tempat yang sangat kudambakan. 

Sebulan berada di sana, menumbuhkan kesan yang begitu dalam. Ngaji di ndalem, Shalat di belakang Yai, di samping bu Nyai. Ngaji disima' Nyai. Buka puasa di loyang rame-rame. Dst. 

Tapi sederet uji harus kuhadapi yang intinya, kemungkinan kecil aku bisa mondok seperti umumnya santri. Jika kalian adalah santri dan kalian membaca ini, kusampaikan bahwa kalian orang-orang beruntung dan terpilih. Manfaatkan kesempatan kalian sebaik-baiknya di tempat dimana kalian ditempa menjadi sosok-sosok berkualitas. Saya menyatakan iri sedalam-dalamnya. 

Begitulah, dan aku memilih berdamai pada apa yang memang harus kuhadapi. Aku mendatangi sumber-sumber ilmu semampuku. Mencari cahaya-cahaya yang tersambung dengan kanjeng nabi. Dan momen ijazah menjadi momen berarti buatku. 

Tulisan ini ditulis setelah kewafatan Yai Aziz, pengasuh Pacol Gowang, tempat yang juga pernah kuimpikan untuk kusinggahi dalam waktu yang lama guna menempa diri. Perasaanku tak karuan. Aku rindu Yai Idris. Aku rindu petuah-petuah santunnya. Aku rindu pituturnya. Aku merindukan semua Kyai.

Hatiku sempat pedih, mendapati kesehatanku yang masih belum sepenuhnya pulih. Sehingga saat ini, aku belum bisa tinggal di pesantren dan mengikuti seluruh kegiatannya. 

Aku mendambakan bisa mendapatkan cercah-cercah cahaya dari poro Kyai yang ilmunya tersambung hingga kanjeng nabi. Aku merindu berpegang pada tali-tali yang kuat.

Hanyasaja, sepertinya Allah memang -sementara ini- memberi kesempatan sekejab-kejab saja menikmati suasana pesantren di luar. Justru di pesantren kecil ini, di tengah kampung halamanku, Allah seperti mengisyaratkan bahwa di sinilah sumber cahaya yang bisa kontinyu kureguk. Dan di sini pulalah, aku belajar tentang mengabdi.

Lalu berdamai dengan segala ketetapan-Nya seraya terus berjalan, mendamaikan hari-hariku. Meski mimpi itu, masih subur di pedalaman lubukku. Mudah-mudahan anak cucu memiliki kesempatan lebih baik.. :)

 Wallahu a'lam~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar