Halaman

Rabu, 09 Desember 2015

Pendampingan

Terbilang sedikit jika dibanding sekolah pada umumnya. Komunitas ini dihuni kurang dari lima puluh anak. Tapi apa artinya jumlah jika nyatanya yang dihadapi adalah manusia yang memiliki seperangkat akal, perasaan dan jiwa. Mereka datang berbekal harapan orang tua, bermimpi untuk masa depannya. Maka dengan seberapa pun anak, menemani mereka dengan serius adalah keharusan.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, akan menjadi pendamping/ tutor si sini. Mimpiku dulu adalah menyampaikan ilmu di pesantren.

Semua ini bermula dari permintaan guru untuk menemani kelas yang akan beliau tinggalkan.

"4 tahun," dawuh beliau waktu itu.

Banyak hal terasa baru. Mendampingi sambil belajar. Hingga 4th terlalui. Kini anak-anaknya sudah lulus dan pindah tempat belajar.

Sampai sekarang, rasanya belum cukup pantas untuk disebut guru. Karenanya, sebutan pendamping lebih kusuka. Entah di komunitas atau pesantren.

Meski anak madrasah lebih akrab dengan sapaan ustadzah karena menyesuaikan peraturan, bagiku ini mirip dengan "mbak". Hanya, sapaan ustadza terasa lebih dekat bagi mereka. Seperti campur antara kakak dan orang tuanya. Ini semacam panggilan sayang.Hihihi.

Menjadi pendamping, mendorong untuk belajar banyak hal. Ada perbedaan mendampingi adik-adik balita yang apa-apa masih harus dituntun, pra balita yang mulai mengenali ini itu, anak tingkat dasar yang menuju puber, anak peralihan dari SD ke SMP (Abg), remaja yang darah mudanya menggelegak (berapi-api dan penuh ego) hingga para santri-santri baru gede yang lebih sering nggombal di kelas ketimbang memperhatikan pelajaran.ckck

Banyak pelajaran hidup yang berharga. Semacam dejavu tapi bukan, karena menghadapi manusia lintas usia. Seperti mengenang perjalanan dari masa ke masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar